Foto, Dede Farham Aulawi, saat menyampaikan ulasan terkait AJB Bukti Adanya
Peralihan Hak Atas Tanah, Sertifikat Tanda Bukti Kepemilikan Tanah.
SPIRITNEWS.COM.- “ Selama menangani banyak kasus hukum selama ini, masalah sengketa kepemilikan tanah termasuk salah satu masalah hukum yang dominan di tengah masyarakat Indonesia ini.
Mungkin banyak faktor yang mempengaruhinya, namun salah satu faktor penting juga masalah tertib administrasi kepemilikan perlu menjadi perhatian bersama.
Badan yang berwenang untuk masalah ini masih perlu melakukan kerja ekstra dengan melakukan berbagai sosialisasi peningkatan tertib administrasi kepemilikan tanah, disamping soal prosedur dan asal usul kepemilikan.
Hal ini dipandang menjadi sangat penting agar bisa meminimalisir banyaknya kasus pertanahan di masa yang akan datang, dimana para pihak yang bersengketa kadangkala sama-sama lemah dalam memegang bukti kepemilikan tersebut “, ujar Pemerhati Pertanahan Dede Farhan Aulawi yang disampaikan ketika menjawab pertanyaan media seputar masalah pertanahan di Jakarta, Rabu (12/8).
Dalam konteks ini, masyarakat kita perlu memahami masalah Pemindahan Hak atas Tanah karena Jual Beli.
Dimana setiap pemindahan hak atas tanah wajib dibuktikan melalui akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (“PPAT”), sebagaimana dijelaskan pada Pasal 37 (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (“PP 24/1997”), yang berbunyi “ Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku “.
Jadi secara prinsip, jual beli yang dilakukan oleh penjual dan pembeli dituangkan di dalam Akta Jual Beli (“AJB”) yang disahkan oleh PPAT, dan kemudian disampaikan kepada Kepala Kantor Pertanahan untuk keperluan pendaftaran tanah, dalam rangka untuk memperoleh surat tanda bukti kepemilikan tanah atau sertifikat. Tambah Dede.
Jika tidak ada AJB yang disahkan oleh PPAT pada Kantor Pertanahan yang nantinya akan dijadikan sebagai dasar perolehan sertifikat tanah (AJB sebagai dasar perolehan sertifikat tanah), maka kekuatan pembuktian yang menandakan terjadinya pemindahan hak atas tanah yang menjadi sengketa mau tidak mau tidak kuat, terutama jika terjadi perselisihan sengketa tanah sampai di pengadilan.
Namun juga perlu diketahui bahwa AJB saja tidak cukup untuk membuktikan kepemilikan tanah. AJB memang dapat membuktikan telah terjadi transaksi jual beli tanah, akan tetapi untuk pembuktian yang kuat mengenai kepemilikan atas tanah hanya dapat dibuktikan oleh adanya sertifikat tanah sebagai surat tanda bukti hak atas tanah.
Hal ini tertuang dalam Pasal 32 PP 24/1997, yang berbunyi “ Sertifikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan “.
Selanjutnya Dede juga menambahkan bahwa bila suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertifikat secara sah atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan secara nyata menguasainya, maka pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya sertifikat itu tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertifikat dan Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan ke Pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertifikat tersebut.
Namun di lain sisi, kadangkala ada pihak lain yang menggugat status kepemilikan tanah misalnya dengan alasan tanah waris, maka diperlukan adanya bukti Peralihan Hak karena Pewarisan.
Artinya piak yang menggugat karena merasa sebagai pemilik (ahli waris) wajib melakukan pendaftaran atas pewarisan tanah yang menjadi sengketa tersebut, sebagaimana ditentukan oleh Pasal 42 ayat (1) PP 24/97, yang berbunyi : “ Untuk pendaftaran peralihan hak karena pewarisan mengenai bidang tanah hak yang sudah didaftar dan hak milik atas satuan rumah susun sebagai yang diwajibkan menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, wajib diserahkan oleh yang menerima hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun yang bersangkutan sebagai warisan kepada Kantor Pertanahan, sertifikat hak yang bersangkutan, surat kematian orang yang namanya dicatat sebagai pemegang haknya dan surat tanda bukti sebagai ahli waris “.
“ Jika para pihak yang bersengketa tidak bisa menyelesaikan permasalahannya sendiri, maka diperlukan mediator untuk memediasi permasalahan tersebut agar didapatkan penyelesaian yang berkeadilan.
Jadi jika penyelesaian masalahnya bisa dilakukan di luar pengadilan dan dapat diterima oleh para pihak yang bersengketa tentu akan lebih baik. Perlu diketahui bahwa selain melalui pengadilan (litigasi), penyelesaian sengketa juga dapat diselesaikan di luar pengadilan (non litigasi), yang lazim dinamakan dengan Alternative Dispute Resolution (ADR) atau Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Dalam proses litigasi menempatkan para pihak saling berlawanan satu sama lain, selain itu penyelesaian sengketa secara litigasi merupakan sarana akhir (ultimum remidium) setelah alternatif penyelesaian sengketa lain dinilai tidak membuahkan hasil.
Jadi pada dasarnya, semua sengketa perdata yang diajukan ke pengadilan termasuk perkara perlawanan (verzet) atas putusan verstek dan perlawanan pihak berperkara (partij verzet) maupun pihak ketiga (derden verzet) terhadap pelaksanaan putusan berkekuatan hukum tetap, wajib terlebih dahulu diupayakan mediasi, kecuali ditentukan lain berdasarkan Perma 1/2016 “, pungkas Dede mengakhiri percakapan.(*).