SPIRITnews.Com.- Setahun sekali, melalui Idul Adha ini, bagi umat
muslim yang mampu diperintahkan untuk berkorban dengan bentuk pengorbanan
binatang, baik itu sapi maupun kambing.
Syariat ini berasal dari peristiwa pengorbanan hewan
yang biasa dilakukan oleh Nabi Ibrahim alaihissalam. Ibrahim memang suka
berkurban dengan ratusan bahkan ribuan hewan ternak yang dimiliki sebagai
bentuk menjalankan perintah Allah.
"Jangankan harta, anak pun akan kukorbankan kalau
itu perintah Allah," demikianlah kalimat yang Nabi Ibrahim keluarkan
ketika diatanya oleh umatnya.
Lantas, apakah kita yang memiliki kemampuan secara
materi sudah mengeluarkan sedikit dari harta kita untuk berkurban? Semoga kisah
berikut ini bisa memberi kita kesadaran tentang berkurban.
Kisah ini dituturkan oleh seorang penjual hewan
kurban. Ia tak sanggup menahan tangis saat mengetahui siapa sebenarnya orang
yang membeli seekor kambing darinya di hari itu. Ketika Anda membaca kisah ini
dengan hati, Anda pun dijamin tak kuasa menahan air mata.
Inilah pengakuan kisah penjual Kambing Qurban :
Katanya Idul adha kian dekat. Semakin banyak orang
yang mengunjungi stan hewan kurbanku. Sebagian hanya melihat-lihat, sebagian
lagi menawar dan alhamdulillah tidak sedikit yang akhirnya membeli. Aku
menyukai bisnis ini, membantu orang mendapatkan hewan kurban dan Allah
memberiku rezeki halal dari keuntungan penjualan.
Suatu hari, datanglah seorang ibu ke stanku. Ia
mengenakan baju yang sangat sederhana, kalau tidak boleh dibilang agak kumal.
Dalam hati aku menyangka ibu ini hanya akan melihat-lihat saja. Aku mengira ia
bukanlah tipe orang yang mampu berkurban.
Meski begitu, sebagai pedagang yang baik aku harus
tetap melayaninya.
"Silahkan Bu, ada yang bisa saya bantu?"
"Silahkan Bu, ada yang bisa saya bantu?"
"Kalau kambing itu harganya berapa, Pak?"
tanyanya sambil menunjuk seekor kambing yang paling murah. "Itu 700 ribu
Bu," tentu saja harga itu bukan tahun ini. Kisah ini terjadi beberapa
tahun yang lalu.
"Harga pasnya berapa?" Wah, ternyata ibu itu
nawar juga.
"Bolehlah 600 ribu, Bu. Itu untungnya sangat
tipis. Buat ibu, bolehlah kalau ibu mau."
"Tapi, uang saya Cuma 500 ribu, Pak. Boleh?"
kata ibu itu dengan penuh harap. Keyakinanku mulai berubah.Ibu ini benar-benar
serius mau berkurban. Mungkin hanya tampilannya saja yang sederhana tapi
sejatinya ia bukanlah orang miskin. Nyatanya ia mampu berkurban.
"Baik lah, Bu. Meskipun tidak mendapat untung,
semoga ini barakah," jawabku setelah agak lama berpikir. Bagaimana tidak,
500 ribu itu berarti sama dengan harga beli. Tapi melihat ibu itu, aku tidak
tega menolaknya.
Aku pun kemudian mengantar kambing itu ke rumahnya.
"Astaghfirullah. Allaahu akbar." Aku terperanjat,Rumah ibu ini tak
lebih dari sebuah gubuk berlantai tanah.
Ukurannya kecil dan di dalamnya tidak ada perabot
mewah,Bahkan kursi,meja, barang-barang elektronik, dan kasur pun tak ada. Hanya
ada dipan beralas tikar yang kini terbaring seorang nenek di atasnya.
Rupanya nenek itu adalah ibu dari wanita yang membeli
kambing tadi. Mereka tinggal bertiga dengan seorang anak kecil yang tak lain
adalah cucu nenek tersebut.
"Emak, lihat apa yang Suami bawa," kata ibu
yang ternyata bernama Sumi itu,yang dipanggil Emak kemudian menolehkan
kepalanya, "Sumi bawa kambing Mak. Alhamdulillah, kita bisa
berkurban."
Tubuh yang renta itu duduk sambil menengadahkan
tangan. "Alhamdulillah. akhirnya kesampaian juga Emak berkurban. Terima
kasih ya Allah."
"Ini uangnya Pak. Maaf ya kalau saya nawarnya
terlalu murah, karena saya hanya tukang cuci di kampung sini, saya sengaja
mengumpulkan uang untuk membeli kambing buat kurban atas nama Emak," kata
Bu Sumi.
Kaki ini bergetar, dada terasa sesak, sambil menahan tetes
air mata, saya berdoa dalam hati.
"Ya Allah. Ampuni dosa hamba, hamba malu
berhadapan dengan hamba-Mu yang pasti lebih mulia ini, seorang yang miskin
harta namun kekayaan imannya begitu luar biasa".
"Pak, ini ongkos kendaraannya.", panggil ibu
itu.
"Sudah bu, biar ongkos kendaraannya saya yang
bayar", jawabku sambil cepat-cepat berpamitan, sebelum Bu Sumi tahu kalau
mata ini sudah basah karena karena tak sanggup mendapat teguran dari Allah yang
sudah mempertemukan dengan hambaNya yang dengan kesabaran, ketabahan dan penuh
keimanan ingin memuliakan orang tuanya.
Untuk menjadi mulia, ternyata tak harus menunggu kaya.
Untuk mampu berkurban, ternyata yang dibutuhkan adalah kesungguhan,kita jauh
lebih kaya dari Bu Sumi. Rumah kita bukan gubuk, lantainya keramik. Ada kursi,
ada meja, ada perabot hingga TV di rumah kita. Ada kendaraan.
Bahkan, HP kita lebih mahal dari harga kambing kurban.
Tapi sudah sungguh-sungguhkah kita mempersiapkan kurban?
Jika kita sebenarnya mampu berkurban, tapi tak mau
berkurban, hendaklah kita takut dengan sabda Rasulullah ini : "Barangsiapa
yang memiliki kelapangan untuk berkurban namun dia tidak berkurban, maka
janganlah ia mendekati tempat salat kami" (HR Ibnu Majah, Ahmad dan Al
Hakim). (sumber muslimahcorner.com)