Laporan Koresponden/Wartawan Spirit News.Com,di
Jakarta ( sahar ).
Jakarta Spirit
News.- Sejumlah
pegiat pemilu mengajukan pengujian undang-undang (PUU) terhadap Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2015, tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota yang kini
telah diubah menjadi UU Nomor 8 Tahun 2015 ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Sementara PUU diajukan
karena sejumlah aturan yang terdapat dalam UU tersebut, dinilai tidak
tegas. Antara lain pasal 73 yang tidak mengatur sanksi diskulasifikasi terhadap
pasangan calon dan pelaku politik uang.
“Selain tidak adanya sanksi
politik uang, undang-undang juga tidak mengatur sanksi bagi jual beli dukungan
partai politik,” ujar pegiat pemilu, Ramdansyah baru-baru ini.
Dikatakan Ramdansyah,bahwa
undang-undang hanya mengatur penjatuhan sanksi terhadap jual beli dukungan partai
politik, harus didahului putusan pengadilan,sementara tidak ada materi sanksi
yang dapat digunakan untuk menjatuhkan putusan pengadilan.
Kondisi ini dinilai tidak
baik, karena dikhawatirkan dapat menyebabkan ketegangan sosial di masyarakat.
Sebab undang-undang seolah merestui dan melegalkan tindakan politik uang dan
jual beli suara partai politik.“Tentu saja masih banyak cacat materil yang
tidak dapat disebutkan satu per satu.
Makanya kami kembali
mengajukan PUU, meski sebelumnya pengajuan terhadap Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2014, tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati dan Wali Kota, ditolak, karena proses persetujuan di DPR
mendahului proses di MK,” ujarnya.
Alasan lain, PUU diajukan
karena menurut Ramdansyah, penggunaan Pasal 149 KUHP juga tidak dapat menjerat
politik uang. Karena politik uang di dalam KUHP hanya dua unsur yakni “agar
pemilih tidak menggunakan hak pilih” dan “agar pemilih menggunakan hak pilih
dengan cara tertentu”.
Pasal 149 KUHP tidak
mengenal unsur “agar memilih pasangan calon tertentu”. Padahal politik uang di
Indonesia ditujukan agar memilih pasangan calon tertentu.
“Jadi kita mengajukan PUU
agar jangan sampai format Pilkada langsung seolah menjadi hadiah bagi rakyat
Indonesia,tapi ternyata justru menjadi bencana,” ujarnya.
Karena beberapa Putusan
Perselisihan Hasil Pemilu Kepala Daerah yang diputus MK beberapa waktu lalu,seperti
terhadap Kabupaten Kotawaringin Barat,Kabupaten Tapanuli Tengah,dan Kabupaten
Mandailing Natal,menyatakan politik uang dan jual beli dukungan partai politik
merupakan kejahatan yang merusak sendi-sendi demokrasi.
Ditambahkan bahwa selain
itu,pasangan calon yang menang dalam Pilkada Langsung yang akan berlangsung,bisa
dipastikan hanya mereka yang punya uang, modal, dan kekuasaan saja,tambahnya.(A.shr).