Sejumlah
tokoh bangsa, antara lain Mahfud MD (mantan Menteri Pertahanan/mantan
Ketua Mahkamah Konstitusi), Fadel Muhammad dan Akbar Tandjung (politikus
Golkar), Fuad Bawazier, Zulkifli Hasan (Ketua MPR sekaligus Ketua Umum
DPP PAN), Yenny Wahid (politikus/putri almarhum Gus), Romo Franz Magnis
Suseno (rohaniwan Katolik), Suparman Marzuki (Ketua Komisi Yudisial),
menghadiri acara “Silaturrahim Tokoh Bangsa ke-7: Problematika Bangsa
dan Solusinya”, yang digelar di Kantor PP Muhammadiyah, Jakarta, Kamis,
26 Maret 2015. (Foto: Liputan6.com/Johan Tallo)
————-SPIRIT NEWS.COM.- Kegiatan “Silaturrahim Tokoh Bangsa ke-7: Problematika Bangsa dan Solusinya”, yang digelar di Kantor PP Muhammadiyah, Jakarta, Kamis, 26 Maret 2015, memang tidak berkaitan langsung dengan rencana pelaksanaan Muktamar ke-47 Muhammadiyah, di Makassar, 3-7 Agustus 2015, tetapi acara tersebut tentu akan mengarahkan perhatian orang kepada Muhammadiyah dan rencana pelaksanaan Muktamar Muhammadiyah di Makassar.
Silaturrahim yang dihadiri sejumlah tokoh bangsa untuk mendiskusikan dan mencari solusi atas beragam problem yang tengah dihadapi bangsa Indonesia, secara tidak langsung akan membuat masyarakat Indonesia menunggu-nunggu rekomendasi yang bakal dihasilkan Muktamar ke-47 Muhammadiyah, Agustus mendatang.
Kehadiran Mahfud MD (mantan Menteri Pertahanan/mantan Ketua Mahkamah Konstitusi), Fadel Muhammad dan Akbar Tandjung (politikus Golkar), Fuad Bawazier, Zulkifli Hasan (Ketua MPR sekaligus Ketua Umum DPP PAN), Yenny Wahid (politikus/putri almarhum Gus), Romo Franz Magnis Suseno (rohaniwan Katolik), Suparman Marzuki (Ketua Komisi Yudisial), dan sejumlah tokoh lain, sekaligus juga menunjukkan kebesaran dan pengaruh Muhammadiyah dalam di negara kita.
Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin, mengatakan, kehadiran tokoh-tokoh itu mengatasnamakan pribadi, bukan institusi atau tempat di mana mereka bernaung saat ini.
Silaturrahim yang mengambil tema sentral problematika bangsa dan solusinya, katanya, sengaja tidak menentukan problematika yang spesifik.
“Biar itu nanti terbuka, sekaligus membicarakan solusinya. Paling tidak menjadi acuan di lembaga di mana kita berada untuk terlibat dalam pelaksanaan solusi itu,” kata Din.
Dia mengatakan, belakangan kita ditontonkan politik yang gaduh, rupiah melemah, dan hal tersebut ditakutkan justru membuat masalah bangsa semakin akut, kronis, komplek. dan rumit.
Menurut Din, para tokoh akan mendiskusikan sejumlah problematika bangsa dan berupaya bersama-sama mencari solusi, untuk selanjutnya disampaikan kepada pemangku kebijakan. Din juga menyarankan ada koalisi besar untuk menyelesaikan masalah bangsa.
“Terserah mau pilih koalisi akbar atau mega koalisi, dua-duanya boleh walaupun menyinggung dua nama besar juga,” kata Din.
Koalisi besar ini, ditujukan untuk membuat sinergi lintas agama, suku, profesi, politik ataupun pemangku kepentingan lainnya. Untuk mewujudkan ini, perlu orientasi batin yang mengandung kearifan dan sifat negarawan.
“Koalisi besar harus dipimpin oleh pemimpin yang negarawan tadi. Ini sangat urgent diperlukan,” tandas Din.
Masalah Ketatanegaraan
Ketua MPR RI Zulkifli Hasan yang hadir dalam acara tersebut mengatakan, persoalan bangsa saat ini adalah masalah ketatanegaraan.
“Kita perlu menyempurnakan sistem ketatanegaraan,” katanya.
Zulkifli mengungkapkan sebelum datang ke acara silaturrahim tersebut, dirinya telah menerima dua tamu, yaitu Try Sutrisno (mantan Wapres RI) dan para redaktur media massa. Kedua tamu ini mengajukan pertanyaan yang sama.
“Padahal saya juga ingin mengajukan pertanyaan itu,” ujar Ketua Umum PAN ini.
“Mereka bertanya, ‘Pak Ketua, sesungguhnya di negeri ini siapa yang berkuasa, siapa yang memerintah dan berkuasa?” ungkap Zulkifli.
Mendapat pertanyaan itu Zulkifli menjawab, “Mungkin sistem ketatanegaraan kita perlu disempurnakan. Misalnya apakah kita perlu melakukan amandemen UUD lagi.”
Menurut Zulkifli, seharusnya ada yang bertanggungjawab atas berbagai persoalan bangsa ini. Misalnya, kegaduhan DPRD DKI Jakarta dan Gubernur, kegaduhan di DPR, dan kegaduhan KPK – Polri.
“Saya menyampaikan pandangan bahwa mungkin sistem ketatanegaraan perlu disempurnakan,” ujarnya.
Muhammadiyah Memberikan Rasa Aman
Mantan presenter, Grace Natalie, pada kesempatan yang sama memperkenalkan dirinya sebagai Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI).
“Perkenalkan saya Grace, Ketua Umum PSI. Saya perempuan, muda, non-Muslim dan Tionghoa. Kalau bukan di Muhammadiyah dan juga NU, tentu saya tidak bisa duduk bareng tokoh senior yang saya hormati ini. Mungkin saya akan ditempatkan di barisan paling belakang,” katanya.
Jika bukan karena ajaran Muhammadiyah, lanjutnya, tentu Sekjen PSI Raja Juli Antoni, kader Muhammadiyah tulen, tidak akan merelakan kursi ketua umum PSI kepada seorang perempuan seperti dirinya.
Di hadapan para tokoh tersebut, Grace berbicara mewakili dua identitas, yaitu, sebagai minoritas dan sebagai mayoritas.
“Saya minoritas marjinal karena saya perempuan dan non muslim. Saya mayoritas karena saya anak muda,” jelasnya.
Sebagai minoritas, Grace mengaku harus berterimakasih kepada organisasi seperti Muhammadiyah.
“Karena Muhammadiyah-lah, saya dan kaum saya sampai pada titik hari ini. Karena kemana pun saya pergi, Muhammadiyah selalu memberikan rasa aman untuk saya di rumah Indonesia yang kita cintai bersama ini,” ungkapnya.
Sementara sebagai mayoritas, Grace menyampaikan bahwa dirinya bersama sejumlah tokoh-tokoh muda lainnya sedang mendirikan sebuah partai politik baru.
“Bukan untuk memberontak atau menegasikan peran para tokoh senior bangsa. Tapi lebih karena kesadaran bahwa anak muda harus belajar mandiri dan menempa nasib mereka sendiri,” katanya. (asnawin/diolah dari berbagai sumber).